Gorontalo, KABARsindikat.ID – Sembilan hari pasca aksi demonstrasi mahasiswa, pemuda, dan masyarakat Kecamatan Pinogu yang menuntut akses jalan layak, isu krisis infrastruktur kembali mengemuka pada Rabu (10/09/2025). Desakan itu mencuat setelah viralnya peristiwa tragis meninggalnya salah seorang warga Desa Tilonggibila di RSUD Toto Selatan, Bone Bolango, yang jenazahnya harus diantar pulang dengan jasa ojek akibat buruknya akses jalan menuju Pinogu.
Aksi massa pada 1 September lalu berhasil membuka ruang dialog antara warga dan pemerintah. Baik Bupati Bone Bolango maupun Gubernur Gorontalo berkomitmen mengalokasikan Detail Engineering Design (DED) pembangunan jalan Pinogu dalam APBD 2026. Selain itu, dijanjikan pula kunjungan kerja dan Focus Group Discussion (FGD) untuk mendalami persoalan strategis yang selama ini membelenggu keterisolasian Kecamatan Pinogu.
Rahmat Kasadi, salah seorang perwakilan massa aksi, mengapresiasi respons pemerintah kabupaten dan provinsi. Ia mengingatkan, bahwa perhatian terhadap Pinogu sebenarnya sudah muncul sejak tahun 2024, ketika Pemerintah Provinsi Gorontalo mengalokasikan dana sebesar Rp2,5 miliar. Dana itu dituangkan dalam SK Gubernur Nomor 146/29/IV/2024 tentang Pemberian Bantuan Keuangan yang Bersifat Khusus kepada Pemerintah Kabupaten Bone Bolango, tertanggal 5 April 2024, yang penggunaannya diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur jalan di Pinogu.
Namun, dalam penyampaian aspirasi di hadapan Gubernur, massa aksi mengungkapkan fakta lapangan bahwa pembangunan rabat beton di akses jalan Pinogu tidak sampai satu kilometer. Kondisi ini menimbulkan tanda tanya serius tentang efektivitas penggunaan anggaran, sehingga diperlukan investigasi khusus dari pihak Provinsi Gorontalo, meski dana tersebut sudah diserahkan sepenuhnya ke pemerintah kabupaten.
“Pembangunan jalan Pinogu harus dilihat bukan sekadar urusan semen, batu, aspal, atau perizinan birokratis. Ini tentang keselamatan 3.000 lebih jiwa masyarakat yang setiap hari berjibaku dengan keterbatasan akses,” tegas Rahmat. Ia menekankan, keterlambatan pembangunan jalan berarti mempertaruhkan nyawa—dari pasien gawat darurat, ibu yang hendak melahirkan, hingga masyarakat yang berduka.
Lebih jauh, Rahmat menyinggung nilai historis Pinogu. Kecamatan ini tercatat sebagai kawasan prasejarah sekaligus saksi pergerakan rakyat Gorontalo pada 1942, tiga tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI. Dengan rekam jejak sejarah itu, Pinogu seharusnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah, tidak hanya sebagai daerah terisolasi, melainkan juga sebagai bagian penting dari identitas Gorontalo.
Untuk menindaklanjuti keseriusan perjuangan akses jalan, Rahmat bersama tokoh masyarakat Pinogu, Moh. Supri Lasulika, kini tengah menyusun dan menghimpun data terkait kebutuhan riil Kecamatan Pinogu. Dokumen itu rencananya akan dibawa dan diserahkan langsung ke Badan Aspirasi Masyarakat DPR RI sebagai langkah strategis memperjuangkan hak dasar warga Pinogu atas aksesibilitas yang layak.
Aksi mahasiswa dan masyarakat Pinogu bukan hanya ekspresi kemarahan atas keterlambatan pembangunan, tetapi juga refleksi tentang bagaimana negara hadir—atau absen—di tengah rakyatnya. Dengan demikian, janji anggaran dan wacana FGD harus diikuti oleh langkah nyata berupa program mitigasi jangka pendek yang segera dirasakan masyarakat.
TimRed-PW.Investigasi