Oleh: Nania Magdalena
Gorontalo, KABARsindikat.ID –Wacana pertambangan di Pohuwato bukan sekadar topik teknis atau ekonomi, melainkan sebuah persoalan besar tentang arah pembangunan daerah. Dari warung kopi di kampung hingga kursi empuk birokrasi, nama PETI dan Pani Gold Project kini menjadi bahan obrolan yang tak ada habisnya.
Di tengah derasnya arus perbincangan itu, ada satu hal yang justru menggelisahkan: dokumen Amdal Pani Gold Project yang hingga kini terasa seperti bayangan—ada tapi tak terlihat, dibicarakan tapi sulit diakses.
Amdal bukan sekadar lembaran kertas formalitas. Ia adalah peta etika pembangunan, yang menentukan apakah sebuah proyek tambang layak dijalankan tanpa merusak ekosistem dan masyarakat di sekitarnya.
Maka menjadi aneh, bahkan ironis, jika dokumen sepenting itu justru tidak transparan kepada publik. Apakah ini kelalaian, atau justru sebuah kesengajaan yang terselubung?
Pertanyaan ini tidak boleh dianggap remeh, sebab sejarah tambang di berbagai daerah telah menunjukkan betapa limbah B3 dan sedimentasi menjadi bom waktu yang merusak lingkungan dan kehidupan sosial.
Sebagai studi pembanding kabupaten Pohuwato di tahun-tahun mendatang, industri pertambangan yang jauh berada di tanah maluku, sebut saja PT. Indonesia Wedabay industrial Park(IWIP) ,seperti dilansir dari media NuansaMalut.com ,Salah satu aliran sungai yang menjadi sumber air bersih sekaligus simbol dari jati diri jernihnya air di Halmahera tengah baru-baru ini di sinyalir tercemar parah dan mengalami sedimemtasi,Biota laut dan ikan Hasil tangkapan para nelayan sekitar menjadi kurang layak untuk di konsumsi, tanah para petani menjadi tandus dan berkurang produktivitasnya,Limbah pabrik sering di temui di lepas pantai serta limbah rumah tangga berserakan memenuhi sudut-sudut hunian kos-kosan milik warga
Tak jarang hal ini menjadi pemicu aksi anarkis dan kekacauan di daerah sekitar, sementara para lembaga dan pemerhati lingkungan di buat seolah menjadi pengemis aktualisasi Amdal yang sedari awal tidak pernah transparan
Jika tidak berkaca dari fenomena ini, kabupaten pohuwati berpotensi bernasib sama bahkan mungkin lebih buruk.
Pemerintah, dalam hal ini, tampak berdiri di persimpangan. Apakah mereka ingin menjadi pelindung rakyat atau sekadar regulator yang tunduk pada korporasi?
Tidak ada yang salah dengan investasi. Namun, investasi yang menutup mata pada lingkungan dan keberlanjutan sejatinya bukanlah pembangunan, melainkan penjarahan yang dilegalkan.
Ketika Amdal dijadikan dokumen yang sulit diakses, publik berhak bertanya: siapa yang sebenarnya dilayani—masyarakat atau segelintir elite?
Sebab, konsekuensi dari tambang bukan hanya angka di laporan keuangan. Konsekuensinya adalah air minum yang tercemar, sawah yang gagal panen, dan laut yang kehilangan ikannya.
Nelayan Pohuwato tidak butuh janji investasi, mereka butuh laut yang tetap hidup. Petani tidak butuh retorika mega project, mereka butuh tanah yang tetap subur.
Semua itu akan terancam jika dokumen Amdal disembunyikan atau hanya dijadikan formalitas. Sebab dari sanalah dasar mitigasi dan pengawasan bisa dibangun.
Ironisnya, pejabat yang seharusnya berpihak kepada rakyat seringkali lebih sibuk menjaga citra pembangunan ketimbang memastikan keselamatan ekologis.
Padahal, keadilan ekologis adalah bagian dari keadilan sosial yang dijamin konstitusi. Mengabaikannya sama dengan mengkhianati amanat rakyat.
Spekulasi publik tentang adanya “proyek di bawah meja” seharusnya tidak dianggap sebagai gosip liar. Itu adalah refleksi dari kekecewaan mendalam terhadap hilangnya transparansi.
Dan ketika transparansi hilang, yang tumbuh adalah ketidakpercayaan. Inilah modal sosial yang paling berbahaya, karena sekali hilang, sulit untuk dikembalikan.
Jika pemerintah dan perusahaan masih menutup mata, maka yang mereka tanam bukanlah pembangunan, melainkan benih konflik sosial yang kelak bisa meledak di kemudian hari.
Pembangunan sejati adalah pembangunan yang berani membuka semua kartunya di hadapan rakyat. Tidak ada yang perlu ditakuti dari keterbukaan jika proyek itu memang berpihak pada keberlanjutan.
Sebaliknya, setiap dokumen yang ditutup rapat hanya akan melahirkan tanda tanya: apa yang sedang disembunyikan?
Pohuwato seharusnya menjadi contoh bagaimana sebuah daerah mampu mengelola kekayaan alamnya dengan bijak, bukan menjadi contoh baru dari luka ekologis di Indonesia.
Maka, saat ini pilihan ada di tangan pemerintah dan perusahaan: menjadikan Amdal sebagai cermin kejujuran pembangunan, atau tetap menyimpannya sebagai rahasia kotor di balik meja.
Dan pada akhirnya, sejarah akan mencatat: apakah mega project emas di Pohuwato benar-benar menjadi jalan menuju kesejahteraan, atau sekadar proyek di bawah meja yang menyisakan kehancuran.
✍️ Nania Magdalena – Pemerhati Lingkungan & Sosial