Pohuwato, KABARsindikat.ID – Ketegangan di Gunung Pani kembali memuncak. Sebuah alat berat milik penambang rakyat disandera oleh pihak perusahaan yang diduga PT. PGP pada Sabtu (09/08) sekitar pukul 15.30 WITA. Penyanderaan terjadi di wilayah konsesi yang diklaim perusahaan, lalu alat tersebut diangkut menuju Marisa ke Polres Pohuwato dengan pengawalan ketat petugas bersenjata laras panjang.
Menurut seorang narasumber yang enggan disebutkan namanya, pemilik alat berat itu telah menyetor puluhan juta rupiah kepada pihak pengumpul kontribusi di lapangan. Namun, setoran tersebut disebut belum mencapai standar “atensi” yang biasanya berlaku untuk menjamin kelancaran operasi penambang rakyat. Akibatnya, saat perusahaan melakukan penyitaan, tidak ada pendampingan atau pembelaan dari para pengumpul kontribusi tersebut.
“Sudah setor puluhan juta, tapi karena katanya belum full dari yang diminta, mereka tidak mau turun tangan. Alat disita begitu saja, padahal selama ini uang itu dibilang untuk keamanan,” ujar narasumber dengan nada kesal.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, “atensi” adalah istilah yang digunakan untuk besaran kontribusi yang harus disetor pemilik alat berat kepada pengumpul lapangan. Nominalnya bisa mencapai puluhan juta per unit, dengan dalih sebagai biaya koordinasi dan jaminan keamanan. Namun, kasus kali ini menegaskan bahwa tanpa setoran penuh, perlindungan itu bisa lenyap seketika.
Pihak perusahaan berdalih memiliki hak penuh atas wilayah tersebut berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Sementara penambang rakyat menegaskan bahwa Gunung Pani adalah tanah leluhur yang telah mereka kelola turun-temurun, jauh sebelum izin korporasi diterbitkan.
Pasal 96C UU Minerba mewajibkan penyelesaian persuasif dengan masyarakat terdampak, namun penggunaan senjata laras panjang dalam mengawal penyitaan alat berat justru menciptakan kesan intimidasi, bukan dialog.
Bagi warga Pohuwato, insiden ini bukan sekadar kehilangan satu unit JCB. Ini adalah simbol bahwa di tanah kelahiran mereka sendiri, kuasa senjata dan legalitas korporasi lebih didengar ketimbang jeritan rakyat. Dan bagi mereka yang telah mengorbankan puluhan juta demi “jaminan keamanan”, insiden ini jadi pengingat pahit bahwa perlindungan yang dibeli tidak selalu datang saat dibutuhkan.
Timredaksi