Gorontalo, KABARsindikat.ID— Ketua Serikat Petani dan Nelayan (SPAN), Usman Nggilu, mengecam keras tragedi longsor di lokasi Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) Tomula, Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia, yang merenggut nyawa Rahmat Mohi (23), warga Desa Patuhu, Kecamatan Randangan, Jumat (8/8/2025) sore.
Menurut Usman, insiden tersebut bukan hanya persoalan kelalaian, tetapi merupakan tindak pidana serius karena lokasi tambang diduga berada di dalam kawasan konservasi Cagar Alam Tomula—wilayah yang memiliki perlindungan hukum ketat sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan kejahatan lingkungan. Pasal 40 ayat (2) UU 5/1990 tegas menyebutkan, setiap orang yang melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan keutuhan kawasan suaka alam dapat dipidana penjara hingga 10 tahun dan denda sampai Rp200 juta. Ditambah, korban jiwa membuat ini layak dijerat pasal berlapis,” tegas Usman, Senin (11/8/2025).
Berdasarkan kajian SPAN, pemilik lokasi yang diduga berinisial AL alias ARK dapat dikenai beberapa ketentuan hukum:
1. Pasal 158 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara — Mengatur bahwa setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
2. Pasal 40 UU Nomor 5 Tahun 1990 — Melarang segala bentuk kegiatan yang merusak kawasan konservasi, dengan ancaman penjara hingga 10 tahun.
3. Pasal 98 dan Pasal 99 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup — Menyasar tindakan yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan, dengan ancaman penjara 3–10 tahun dan denda Rp3–10 miliar.
4. Pasal 359 KUHP — Mengatur kelalaian yang menyebabkan kematian orang lain, dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun.
“Jika keempat instrumen hukum ini diterapkan, maka tidak ada celah bagi pelaku untuk lolos hanya dengan sanksi ringan. Ini harus jadi preseden bahwa pengelolaan PETI di kawasan konservasi adalah pelanggaran multidimensi: hukum kehutanan, hukum lingkungan, hukum pertambangan, dan hukum pidana umum,” papar Usman.
Ia menegaskan, SPAN akan membawa persoalan ini ke ranah hukum formal.
“Nanti rencananya saya akan buat laporan polisi. Negara tidak boleh lagi hanya hadir saat ada korban. Harus ada tindakan preventif, bukan sekadar reaktif,” ujarnya.
Tragedi ini menambah panjang daftar korban jiwa akibat PETI di Pohuwato, yang hingga kini masih beroperasi bebas meskipun jelas-jelas melanggar hukum dan merusak tatanan sosial-ekologis daerah.
Tim-Redaksi